Makalah
Ajaran
Tentang Sangha
Disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Budhisme semester IV
Dosen
Pembimbing : Dra. Hj. Siti Nadroh, MA
Disusun
oleh :
Ifa
Nur Rafiqoh
Perbandingan
Agama
Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat
Universitas
Islam Negri
Syarif
Hidayatulllah Jakarta
2013
PENDAHULUAN
Dalam memahami agama Buddha, tentunya akan kita
temukan perbedaan-perbedaan dengan agama lain.
Para penganut agama Buddha tidak memerlukan upacara-upacara keagamaan seperti
pemujaan terhadap sang dewa, namun agama buddha lebih mengutamakan penganutnya
untuk berbuat (karma) membebaskan diri dari pederitaan (dukkha). Penyebab dari
dukkha itu sendiri adalah keinginan (tanha) seseorang terhadap sesuatu yang berhubungan
dengan keduniawian. Untuk dapat terbebas dari dukkha tersebut maka sesorang harus
bisa melenyapkan/memadamkan keinginan yang terbelunggu didalam dirinya.
Dilihat
dari segi kelembagaan umat buddha dapat dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu
kelompok Sangha dan kelompok buddha awam.
Sebelum
berbicara tentang sangha tentunya harus kita fahami terlebih dahulu tentang tri
ratna yaitu kesaksian keimanan/syahadat orang budha. Tri ratna atau disebut
juga dengan tiga mustika terdiri dari buddha, dharma dan Sangha.
Buddha
adalah seseorang yang memperoleh penerangan tertinggi, Dharma adalah
ajaran-ajaran agama Buddha dan Sangha adalah golongan pendeta yang hidupnya
memelihara kelangsungan upacara agama yang pada umumnya tinggal di biara-biara.
Untuk dapat menjadi seorang sangha harus melalui beberapa tahapan-tahapan dan
mematuhi dasa sila agama Buddha, selain itu juga terdapat beberapa tingkat
kesucian bagi kelompok buddha sangha.
Untuk
lebih jelasnya maka penulis akan memaparkan tentang hal tersebut dalam makalah
ini yang bertemakan ajaran tentang sangha.
AJARAN
TENTANG SANGHA
Aturan organisasi agama buddha membagi para penganut
agama buddha kedalam dua kelompok, yaitu kelompok Sangha dan kelompok awam.
Kelompok Sangha adalah terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan
Samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningatkan nili-nilai
kerohanian serta tidak melaksanakan hidup berkeluarga. Sedangkan kelompok awam
terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada
Buddha, Dharma dan Sangha serta melaksanakan hidup berumah tangga sebagai orang biasa.[1]
Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para
Bhikkhu. Kata Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2
jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu), yaitu:
1.
Sammuti
Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai
tingkat-tingkat kesucian.
2.
Ariya Sangha
= persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat
kesucian.
a. Tingkat kesucian
Dalam
naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa Sangha adalah arya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah
mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan
yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai
terdiri dari sottapati, sakadagami,
anagami dan arahat.[2]
Sotapatti ialah orang suci
tingkat pertama, dimana seseorang masih harus menjelma tujuh kali lagi sebelum
mencapai Nirwana, pada tingakatan ini orang harus berusaha membasmi/mematahkan
sebanyak tiga belenggu yaitu:
1.
sakkayadithi
(kemayaan akunya),
Menurut kepercayaan
Buddha, timbulnya rasa aku dapat digambarkan sebagai berikut:
Jika seseorang
mengatakan “aku lapar”, maka yang merasa lapar sebenarnya jasmani orang itu.
Jadi jasmani (rupa) lah yang mengaku sebagai aku.
Jika seseorang
mengatakan “aku cinta”, maka sebenarnya perasaanlah yang mengaku sebagai aku.
Jika orang mengatakan “aku pandai”, maka sebenarnya pikiranlah yang mengaku
sebagai aku. Demikian seterusnya.[3]
Jadi unsur-unsur (skandha)
yang menimbulkan rasa “aku”. “aku” yang demikian adalah aku yang maya (tidak
sesungguhnya). Adapun “aku” yang sejati adalah aku semesta alam yang kekal dan
abadi, diluar waktu dan ruang, satu dengan semua yang ada, tak ada yang
mencipta, dan bersemayam di para Nirwana.
2.
vicikiccha
(keragu-raguan),
3.
silabbataparamasa
(ketahayulan).[4]
Pada tingkat sotapatti atau ada juga yang menyebutnya dengan sotapanna yang telah dicapai, maka
seseorang tersebut sudah dapat disebut
sebagai ariya punggala yang berarti orang suci/orang kudus atau orang keramat.[5]
Hidup suci artinya seseorang harus
menjauhi segala apa yang dilarang dalam agama Buddha. Pada prinsipnya ada
sepuluh larangan yang disebut Dasasila, yang merupakan pokok etika Buddha.
Sepuluh larangan itu ialah:
1.
Dilarang
membunuh ataupun melukai sesama makhluk hidup.
2.
Dilarang
mencuri/merampok.
3.
Dilarang
melakukan perzinaan/hidup mesum.
4.
Dilarang
berdusta/menipu orang lain.
5.
Dilarang
meminum minuman yang memabukkan.
6.
Dilarang
makan dan minum pada waktu yang terlarang (misalnya pada waktu berpuasa).
7.
Dilarang
mendatangi tempat yang berhubungan dengan kesenangan duniawi.
8.
Dilarang
menghias diri/bersolek.
9.
Dlarang
tidur pada tempat yang yang nyaman dan enak.
10. Dilarang menerima hadiah yang berharga
maupun uang.[6]
Sakadagami ialah orang
suci tingkat kedua yang telah membasmi atau mematahkan sebanyak tiga belenggu
pada tingkatan sotapanna ditambah dua
belenggu, yaitu kamaraga (kecintaan indrawi) dan patiggha (kemarahan atau
kebencian).[7]
Pada tingakatan ini orang harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai Nirwana,
ia juga harus dapat membangkitkan ‘kundalini’ sebelum nak ke tingkat ketiga, Anagami.
Anagami ialah orang
suci tingkat ketiga, yang telah membasmi atau mematahkan sebanyak tiga belenggu
pada tingkatan sotapanna dan dua
belenggu pada tingkat sakadagami. Pada
tingkatan ini seseorang tidak perlu lagi menjelma untuk mencapai Nirwana.
Setelah ia berhasil mematahkan belenggu tersebut barulah ia naik ke tingkat
‘Arahat’ dan dapat langsung mencapai Nirwana di dunia atau setelah wafatnya.[8]
Setelah mencapai tingkat ini jika ia melihat,
mendengar, mencium, makan, minum, meraba dan sebagainya, tidak ada lagi rasa
senang atau benci, hatinya diliputi oleh kedamaian. Pada tingkatan inilah
menurut kepercayaan agama Budha orang dapat mengetahui kebenaran yang hakiki
dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia dapat melihat makhluk-makhluk
halus dan alam kedewaan, yang tidak dapat diketahui oleh orang-orang biasa.
Untuk menjelaskan masalah ini kita dapat mengambil contoh orang yang melihat
air dalam gelas dengan menggunakan mikroskop dan orang yang melihatnya dengan
mata kepala belaka. Orang yang pertama tersebut akan melihat bakteri-bakteri
atau basil-basil dalam air itu, sedangkan orang yang kedua tidak akan
melihatnya.[9]
Arahat yaitu orang
suci tingkat keempat, mereka adalah yang telah membasmi/mematahkan sebanyak
lima belenggu pada tingkatan anagami
ditambah lima belenggu lagi yakni:
-
Ruparaga
(keinginan untuk hidup dalam bentuk);
-
Aruparaga
(keinginan untuk hidup tanpa bentuk);
-
Mana
(kecongkakan);
-
Uddhacca
(kegoncangan batin);
-
Avijja
(kekurangan kebijaksanaan).[10]
Pada tingkatan ini seseorang terbebas
dari kelahiran dan kematian di alam manapun juga, inilah yang dinamakan orang
keramat yang telah bersatu dengan Sang Hyang Adi Buddha.[11]
Seorang Arahat adalah seseorang yang
telah melenyapkan segala hawa nafsu dan
keinginannya, sehingga ia tidak teringat dengan apapun. Mungkin akan timbul
pertanyaan, apa mungkin seseorang yang tidak mempunyai keinginan apapun masih
bisa meneruskan hidupnya, sedangkan untuk hidup orang terikat pada banyak hal.
Hal ini bisa dibandingkan dengan kipas angin yang meskipun angin sudah tidak
bertiup, tetapi ia masih berputar karena didorong oleh sisa-sisa kekuatan
sebelumya. Begitu juga Arahat, sebetulnya ia telah melenyapkan segala nafsu dan
keinginannya termasuk keinginan untuk hidup, tetapi ia masih hidup sekedar
meneruskan pelaksanaan hukum karma sebelumnya. Ibarat lampu yang sudah habis
minyaknya, maka nyala yang masih ada merupakan sisan terakhir dan akhirnya
padam.[12]
Proses hidup terus berlangsung selama
masih ada tanha. Jika tanha telah padam, maka berhentilah proses hidup dan
sampailah ia pada Nirwana. Apakah nirwana itu berarti lenyapnya pribadi?
Mungkinkah pribadi dienyapkan? Segala sesuatu yang maujud tidak mungkin
dilenyapkan. Istilah melenyapkan pribadi ialah suatu kekeliruan, sebab Budha
Gautama sendiri tidak menyatakan bahwa pribadi itu ada. Jika kita melihat kipas
angin sudah tidak bertiup, hal itu tidak berarti bahwa gerakan kipas itu ditiadakan
atau dilenyapkan. Satu-satunya ungkapan yang tepat ialah: tidak ada sebab,
tidak ada akibat.[13]
Selain dari empat
tingkat kesucian diatas, dalam kepercayaan buddha juga dikenal adanya asekha, yaitu orang yang sempurna
(sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini. Diantara para asheka
tersebut adalah Siddharta Gautama yang telah mencapai tingkat kebuddhaan tanpa
harus belajar dan berguru kepada orang lain.[14]
Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada roda kehidupan yang
harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat ditinjau dari segi
Kekotoran batin (kilesa)-nya, yang telah berhasil mereka basmi.
Dalam konsep agama Hindu, orang yang belum mencapai Nirwana berarti
masih terikat dengan samsara, yaitu kelahiran kembali ke dunia. Yang dilahirkan
kembali adalah roh perseorangan (Atman). Agama Buddha tidak mempercayai
adanya roh perseorangan. Ajaran ini disebut Anatman (Anatta).
Menurut ajaran agama Buddha, yang dilahirkan kembali sebenarnya watak
yang terbentuk oleh karma (amal) tiap-tiap orang ketika masih hidup di dunia.
Pada umumnya orang mengakui adanya “aku” yang menguasai jasmani dan rohaninya.
“aku” ini manifestasi dari pengakuan adanya roh perseorangan. Sebenarnya “aku”
ini tidak ada menurut Buddha Gautama.
Apa yang manusia rasakan sebagai aku, sebenarnya hanya perpaduan dari
lima unsur atau skandha yaitu:
1.
Tubuh (rupa).
2.
Perasaan (Vedana).
3.
Pengamatan (samya).
4.
Pikiran (samskara).
5.
Kesadaran (vijnana).[15]
Jika kelima skandha tersebut menjadi satu, maka manusia merasakan ada
“aku”, yang berarti ada individu tertentu. Padahal perpadun lima skandha itu
bukan kesatuan yang permanen. Kelima skandha itu dapat diibaratkan sebagai spare-part
(suku cadang) yang setiap saat bisa berpisah atau bertemu.
Roh yang menjelma dalam nyala api dari suatu lilin yang dapat
dipindahkan ke lilin yang lain. Nyala api pada lilin yang kedua ini bukan nyala
api pada lilin yang pertama, melainkan nyala api pada lilin yang kedua itu
sendiri.[16]
Untuk itulah supaya seseorang tidak dilahirkan kembali, ia harus dapat
mematahkan tanha pada dirinya, yaitu dengan cara menempuh delapan jalan yang
mulia, yang disebut Astha Arya Margha, yaitu:
1.
Kepercayaan
yang benar.
2.
Niat dan
pikiran yang benar.
3.
Perkataan
yang benar.
4.
Perbuatan
yang benar.
5.
Mata
pencaharian yang benar.
6.
Usaha yang
benar.
7.
Kesadaran
yang benar.
8.
Samadhi yang
benar.[17]
Setelah ia dapat mematahkan tanha dalam dirinya, dan telah mencapai
kesucian yang sempurna pada tingkat Arahat, maka seseorang tersebut akan
terbebas dari kelahiran kembali dan dapat mencapai Nirwana.
b. Kedududan Sangha
Menurut sejarah agama Buddha beberapa
minggu setelah Sidharta Gautama mencapai pencerahan maka ia membentuk Sangha
yang pertama yang anggota-anggotanya terdiri dari Kondana, Badiya, Wappa,
Mahanama, dan Asaji. Diantara kelima murid buddha tersebut yang mencapai
tingkat Arahat adalah Kondana. Mereka merupakan contoh masyarakat buddha yang
dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai hidup tertinggi atau
Nirwana.[18]
Anggota
Sangha adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan Dharma atas
permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun penerangan batin
dalam suka dan duka. Dari umat buddha Sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjali karananiyo) dan merupakan
lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).[19]
Menurut
kepercayaan Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dari Buddha dan Dharma karena
ketiganya adalah kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga dari
yang muthlak di dunia. Hubungan ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:
-
Buddha
adalah bulan purnama,
-
Dharma
adalah sinar yang menerangi dunia,
-
Sangha
adalah dunia yang menerima sinar tersebut.
Dengan
istilah lain:
-
Buddha
bagaikan orang yang membakar hutan,
-
Dharma
bagaikan api yang membakar hutan (kekotoran batin),
-
Sangha
bagaikan padi atau jasa setelah hutan habis terbakar.[20]
c. Cara menjadi Bikkhu
Inti
masyarakat Buddhisme dalam arti yang sebenarnya adalah hanya terdiri dari para
Rahib (Bikkhu/Biksu). Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan
suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu
mencapai nirwana. Seluruh persekutuan para Bikkhu/Biksu disebut Sangha/jemat.[21]
Sangha
adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka Bagi setiap umat untuk masuk
dan bergabung ke dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu, baik pria
maupun wanita. Sesorang yang masuk dan bergabung kedalam sangha berarti akan
hidup dalam biara tanpa lagi memiliki rumah dan hidup sebagai petapa.[22]
Seseorang
yang memasuki persaudaraan para Bikkhu atau Bikkhuni, untuk pertama kalinya
akan menerima ‘jubah kuning’.
Sebelum
secara penuh diterima sebagai seorang bikkhu, seseorang harus menjalan hidup
sebagai calon bikkhu atau disebut dengan Samanera dengan mengucapkan dan
menepati “dasa sila”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya
untuk perenungan suci dibawah asuhan bikkhu atau guru (acarya) yang dipilihnya
sendiri. Setelah dapat melakukan semua itu, maka ia diterima secara penuh
sebagai bikkhu dalam suatu upacara penahbisan (upasampada) yang dihadiri para sesepuh.[23]
Penahbisan bikkhuni pertama kalinya
dilakukan oleh sang buddha baru kemudian dilakukan oleh sangha. Seorang
bikkhuni harus ditahbiskan dua kali, yaitu oleh bikkhuni sangha dan kedua kalinya
oleh bikkhu sangha. Sesudah itu barulah ia menjadi bikkhuni.
Hidup
menjadi Seorang Bikkhu diatur didalam kitab Vinaya
Pitaka. Dari kitab ini dapat kita ketahui bahwa hidup para Bikkhu ditandai
oleh 3 hal, yaitu: kemiskinan, hidup
membujang, dan ahimsa.[24]
Yang
pertama seorang rahib harus hidup dengan kemiskinan. Ia tidak diperkenankan
memiliki sesuatu kecuali jubahnya[25],
termasuk rumah dan tempat berlindung yang tetap, mereka harus terbiasa hidup
mengembara ke hutan-hutan dan berlindung di bawah pohon, hanya ketika musim hujan
saja ia di perkenankan berteduh di rumah yang dibuatnya sendiri, dengan kata
lain ia harus hidup dengan iman saja. Begitu pula dengan makanan, ia harus
memperoleh dengan cara mengemis. Itulah sebabnya mereka harus memiliki tempurung
sebagai alat untuk mengemis. Didalam sistem ajaran buddha mengemis merupakan
suatu kebajikan, karena dengan mengemis dapat mengajarkan kelompok awam untuk
senantiasa bersedekah. Dan juga merupakan suatu kebajikan bagi dirinya sendiri
karena dapat mengajarkan sikap rendah hati, sabar dan tidak lekas putus asa.
Dengan itu mereka dapat mengendalikan hawa nafsunya.[26]
Selanjutnya
seorang Bikkhu diharuskan hidup membujang. Ia tidak diperkenankan berhubungan
seks dengan seorang wanita, karena hubungan tersebut dipandang sebagai dosa
yang paling besar. Dan jika memungkinkan memandang wanitapun tidak
diperkenankan.
Yang
terakhir seorang Bikkhu harus hidup dengan ahimsa (tanpa kekerasan), artinya ia
dilarang membunuh dan melukai makhluk lainnya. Empat dosa yang harus dijauhi
para bikkhu adalah: hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk yang lain, dan
meninggikan diri karena kecakapannya membuat mu’jizat.[27]
Setelah
menjadi bikkhu seseorang harus menjalani hidup bersih dan suci seperti yang
tertulis dalam kitab vinaya pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya
adalah:
1. Peraturan yang berhubungan dengan tata
tertib lahiriyah.
2. Peraturan yang berhubungan dengan cara
penggunaan makanan dan pakaian, serta kebutuhan hidup yang lain.
3. Cara menanggulangi nafsu keinginan dan
rangsangan batin.
4. Cara untuk memperoleh pengetahuan batin
yang luhur untuk penyempurnaan diri.[28]
d. Kelompok Buddha Awam
Secara
kelembagaan/aturan organisasi kelompok Buddha dapat dibagi menjadi dua yaitu
kelompok Buddha Sangha dan kelompok
Buddha Awam. Telah disinggung di atas bahwa yang disebut dengan Buddha Sangha
adalah kelompok Buddha yang terdiri dari Bikkhu (sebutan untuk lelaki) dan
Bikkhuni (sebutan untuk perempuan), yaitu seorang yang menjalani kehidupan
suci, meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan meninggalkan kehidupan duniawi
serta tidak menjalani hidup keluarga. Dan juga patuh serta setia menghayati dan
mengamalkan Buddha Dharma, patuh menjalankan Pratimoksa (sila-sila untuk para Bhikkhu dan Bikkhuni) terdapat
didalam buku buddha Mahayana yakni Pacchimovada Pari Nirvana Sutra terjemahan
oleh Kumarajiva.[29]
Sedangkan
kelompok Buddha awam adalah kelompok Buddha yang terdiri dari upasaka dan
upasaki, yaitu kelompok Buddha yang termasuk masyarakat biasa yang mematuhi
sang Buddha sebagai pemimpin dan gurunya, mengakui kebenaran ajaran-ajarannya (Dharma),[30]
serta melaksanakan prinsip-prinsip moral sebagai masyarakat biasa yang
kehidupannya masih terikat dengan kehidupan duniawi dan juga menjalani
kehidupan berkeluarga.[31]
Dilihat
dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Buddha dan tanggung jawab
keagamaannya, maka kelompok masyrakat buddha awam ini dapat dibedakan sebagai
berikut:
-
Upasaka
dan Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya,
-
Yang
disebut Bala Anupandita, Anu Pandita dan Pandita adalah mereka yang menjalankan
tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Buddha.
-
Maha
Upasaka, ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
-
Maha
Pandita adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
-
Anagarika
adalah orang awam buddha yang dikui memiliki pengethuan dan kemampuan dalam
mengamalkan ajaran Budha Gautama.[32]
Pengakuan
terhadap agama Buddha tersebut dinyatakan dengan niat dan tekad untuk
berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha dengan mengucapkan ‘tri sarana’
yang berbunyi:
-
Buddhang
Saranang Gacchani,
-
Dhammang
Saranang Gacchani,
-
Sanghang
Saranang Gacchani.
Artinya
:
-
Saya
berlindung kepada Buddha,
-
Saya
berlindung kepada Dharma,
-
Saya
berlindung kepada Sangha.
Tiga perlindungan tersebut merupakan doa yang dapat
dilaksanakan kapan saja dan di manapun, tetapi dalam dunia Buddha diyakini
bahwa hari yang Paling baik untuk memulainya yaitu dengan mengikat tiga
permata atau tiga perlindungan, dan yang dapat menjadikannya sebagai penutup
hari sebagai umat Buddha sebelum tidur.
Meskipun doa tersebut sangat singkat namun perlu
diingat bahwa kalimat tersebut meliputi seluruh ajaran Buddhis, Buddha
guru agung dan penunjuk jalan kehidupan bagi umat Buddha, dhamma merupakan
ajaran yang diwariskannya kepada umat Buddha sebagai pedoman dalam menempuh
kehidupan ini, sedangkan Sangha atau persaudaraan para bikshu melambangkan
panjang dhamma.
Sesuai dengan arti katanya, yaitu Tiga Mustika atau
Tiga Permata, maka isi Tiratana memang terdiri dari 3 permata atau tiga ratana,
yaitu: Buddha Ratana; Dhamma Ratana; dan Sangha Ratana.
Buddha
Ratana:
ü
Sang Buddha
adalah guru suci junjungan kita
ü
Yang telah
memberikan ajarannya kepada umat manusia dan para dewa
ü
Untuk
mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Dhamma
Ratana:
ü
Dhamma
adalah kebenaran mutlak, dan juga merupakan ajaran Buddha
ü
Yang
menunjukkan umat manusia dan para dewa ke jalan yang benar, yaitu yang terbebas
dari kejahatan, dan
ü
Membimbing
mereka mencapai kebebasan mutlak (Nibbãna)
Sangha
Ratana:
ü
Sangha
adalah persaudaraan Bhikkhu suci, yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian
(Sotapana, Sakadagami, Anagami, Arahat)
ü
Sebagai
pengawal dan pelindung Dhamma
ü
Mengajarkan
Dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga bisa mencapai
kebebasan mutlak (Nibbãna)
Setelah mengucapkan
trisarana tersebut seorang Upasaka atau Upasaki terikat secara rohaniah untuk
melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Buddha dalam kehidupannya sehari-hari.[33]
Pada
hakikatnya para kelompok Buddha awam ini tidak dapat mencapai nirwana didalam
hidupnya, namun kedudukan mereka penting sekali. Mereka sudah berada pada awal
jalan menuju kelepasan sebab mereka sudah percaya kepada Buddha dan menjalankan
ajaran-ajarannya (Dharma). Bagaimanapun juga mereka tetap mendapatkan pahala,
meskipun belum pahala yang tertinggi. Pahala tersebut dapat di peroleh melalui
sedekah baik terhadap sesama maupun terhadap Rahib (Bikkhu), yaitu dengan
memberikan segala kebutuhan yang di perlukan Bikkhu. Mereka harus menetapi
pancasila atau lima larangan yang pertama dari dasasila yang harus dipatuhi
oleh Rahib (Bikkhu).[34]
Berbeda
dengan kelompok buddha sangha yang harus mematuhi dasa sila (sepuluh larangan),
kelompok buddha awam hanya diwajibkan menegakkan Pancasila (lima larangan).
Pancasila untuk menegakkan Dharma bagi para kelompok Buddha awam adalah sebagai
berikut:
a.
Dilarang
membunuh terhadap semua makhluk (misalnya peperangan dan sebagainya).
b.
Dilarang
mencuri/merampok dan sebagainya.
c.
Tidak
hidup mesum, misalnya perzinaan.
d.
Dilarang
berdusta/berbohong terhadap orang lain.
e.
Dilarang
minum-minuman yang memabukkan.[35]
Tugas
kelompok Buddha awam selanjutnya adalah dapat diuraikan misalnya seorang orang
tua harus dapat mengendalikan sikap dan akhlak anak-anaknya, mengajarkan kepada
anaknya terhadap hal-hal yang baik dan melarang melakukan perbuatan yang jahat,
mengajarkan ilmu pengetahuan serta mencarikan jodoh yang baik. Para anak harus
mematuhi segala apa yang diperintahkan orang tuanya, merawat sesuatu yang
menjadi miliknya, melayakkan diri untuk menjadi ahli waris, dan seterusnya.
Para guru harus memberikan pelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan kepada
muridnya, sedang seorang murid harus menghormati gurunya dan lain sebagainya.[36]
Meskipun
semuanya itu belum dapat membawa orang kepada nirwana, namun dapat menjadikan
mereka dilahirkan kembali didalam dunia yang lebih baik daripada yang sekarang
mereka alami.
KESIMPULAN
Pada dasarnya
agama Buddha tidak mementingkan tentang upacara pemujaan terhadap dewa-dewa
namun para penganut agama tersebut lebih mementingkan bagaimana melepaskan diri
dari Dukkha (penderitaan) hidup di dunia yang bersumber dari Tanha (keinginan).
Untuk itulah seseorang harus melepaskan diri dari kehidupan duniawi serta dari
kehidupan berkeluarga dan berusaha menjadi seorang Bikkhu ataupun Bikkhuni.
Terlepas dari itu penganut agama buddha juga terdiri dari kelompok awam, yaitu kelompok
buddha yang mengakui sang buddha sebagai pemimpinannya serta mematuhi dharma
(ajaran-ajarannya).
DAFTAR
PUSTAKA
Abddul Manaf, Mudjahid. Sejarah
Agama-Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. II, 1996.
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama
I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010.
H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT. Golden
Terayon Press, 1995.
Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. jakarta:
______, 1980.
Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995.
[1] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 234
[2] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,
(Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 129
[3] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 34
[4] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 234-235
[5] Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
dalam Dhamma, (jakarta: ____, 1980), h. 37
[6] H. M. Arifin. Menguak Misteri
Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1995), h.
98-99
[7] Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
dalam Dhamma, h. 38
[8] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 235
[9] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 34
[10] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 235
[11] Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
dalam Dhamma, h. 39
[12] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 33
[13] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 33
[14] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,
h. 130
[15] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 30
[16] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 30
[17] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 30
[18] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 236
[19] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,
h. 130
[20] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 237
[21] Harun Hadiwijono. Agama Hindu
dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010), h.83
[22] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 237
[23] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,
h. 131
[24] Harun Hadiwijono. Agama Hindu
dan Buddha, h. 83
[25] Jubah yang harus dibuwat dari kain lampin, yang dibuatnya sendiri,
yang kemudian didapatkan dari sana sini termasuk juga yang dihadiahkan oleh
kelompok buddha awam, selanjutnya seorang bikkhu juga diharuskan mempunyai
tempurng untuk mengemis, sebuah jarum untuk jubahnya, tasbih, alat pencukur
rambut, dan penyaring air. Lihat Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h.
84
[26] Harun Hadiwijono. Agama Hindu
dan Buddha, h. 83-84
[27] Harun Hadiwijono. Agama Hindu
dan Buddha, h. 84
[28] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,
h. 131
[29] Suwarto. Budha Dharma Mahayana, (Palembang:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 51
[30] Pengakuan kepada Dharma berarti
mempercayai atau meyakini kebenaran
hukum-hukumnya dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup
serta peraturan-peraturan lainnya.
[31] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,
h. 129
[32] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 239
[33] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, h. 239
[34] Harun Hadiwijono. Agama Hindu
dan Buddha, h. 85
[35] H. M. Arifin. Menguak Misteri
Ajaran Agama-Agama Besar, h. 98
[36] Harun Hadiwijono. Agama Hindu
dan Buddha, h. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar