Makalah
Riwayat Sidharta Gautama
Disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Budhisme semester IV
Dosen
Pembimbing : Dra. Hj. Siti Nadroh, MA
Disusun
oleh :
Ati
Puspita
Perbandingan
Agama
Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat
Universitas
Islam Negri
Syarif
Hidayatulllah Jakarta
2013
INDIA SEBELUM MASA BUDDHA GAUTAMA
Terdapat dua corak dari agama-agama di dunia dewasa ini, yaitu berpusat
pada Tuhan (theis-sentris) dan berpusat pada manusia (homo-sentris).[1]
Sebagai salah
satu tempat berkembangnya peradaban dan kebudayaan dunia, India telah menjadi
tanah suci bagi banyak orang untuk mendalami hakikat hidup Terdapat 2 pandangan
yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme dan
Sramanaisme.
Apakah pandangan Brahmanisme dan Sramanaisme itu? [2]
Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan dari bangsa Arya. Menurut paham ini,
roh dan jasmani adalah satu. Dengan demikian apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak
ada lagi kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan berarti matinya roh atau jiwa). Inilah yang disebut paham nihilisme.
Apa akibat dari mereka yang memegang pandangan ini? Karena beranggapan bahwa hidup hanya sekali dan tidak ada lagi kehidupan
selanjutnya, maka seseorang akan terus-menerus memuaskan nafsu keserakahannya pada kehidupan ini. [3]
Berbeda dari pandangan Brahmanisme, pandangan Sramanaisme yang diturunkan oleh
bangsa Dravida menganggap bahwa
roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya
badan jasmani tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan abadi dan apabila pada saatnya
seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini memunculkan
paham eternalisme (kekekalan). Apa akibat dari mereka yang memegang pandangan ini?
Karena beranggapan bahwa roh akan terus ada, roh ini pada akhirnya harus berhenti dalam penyatuan dengan
sesuatu yang disebut Maha Kekal. Dan untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang Maha Kekal, roh tersebut haruslah menjadi roh yang
suci dahulu. Akibatnya seseorang akan terus melakukan penyiksaan diri (bahkan sampai
berlebihan) dengan tujuan
menyucikan rohnya sendiri. [4]
Kedua pandangan ini ditolak oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan
sebuah jalan alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan atau Jalan Tengah (the middle way).
Bagi umat Buddha ajaran yang
dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman hidup daripada sebatas agama.
Mengapa? Karena
apa yang ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan,
melainkan sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua
orang) agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti. [5]
RIWAYAT SIDDHARTA GAUTAMA
Menurut para ahli barat,
Buddha Gautama, pendiri Agama Buddha dilahirkan pada tahun 563 SM dan wafat pada tahun 483 SM. Ia adalah
anak Raja Suddhodana
yang memerintah atas suku Sakya. Ibunya bernama Maya. Ia dibesarkan di ibukota
kerajaan yaitu Kapilawastu.[6]
Dalam kehamilan,
kelahirannya ratu Maya merasakan ada tanda-tanda bahwa anak yang dikandungnya
tidak akan menjadi anak yang biasa. Karena ramalan pun menyebutkan demikian.[7]
Ratu Maya melahirkan
seorang Bodhisattwa tanpa kesulitan Dan para dayang yang mendampingi Ratu,
menyaksikan dengan penuh kesenangan.[8]
Pertapa Asita berdiam disalah satu gunung yang tidak begitu jauh dari
istana, mengunjungi pangeran untuk menyaksikan tanda-tanda pada tubuh pangeran,
memperhatikan dengan seksama dan menemukan bahwa pangeran memiliki kewajiban
besar (karena memiliki tanda-tanda tubuh dari orang yang Agung yang disebut
Maha Purisa.[9]
Pertapa Asita tertawa
setelah melihat pangeran. Tertawa karena pada suatu hari nanti pangeran akan
mencapai Kesempurnaan (Buddha), sempurna dalam Kebijaksanaan maupun
Kewajiban, menjadi Guru para dewa dan manusia. Kemudian ia menangis karena usianya yang telah
lanjut dan
tidak mempunyai kesempatan lagi melihat dan mendengarkan saat pangeran mencapai kesempurnaan tersebut
dan menjadi Juru Selamat
dunia dengan mengajarkan Buddha Dharma. Kemudian ia berlutut dan menghormat kepada pangeran dan tanpa disadari diikuti oleh Raja
Suddhodana.[10]
Tetapi pemaisuri wafat ketika sang bayi berumur satu Minggu.[11] Buddha
sekarang diasuh oleh kakak perempuan ibunya, Mahaprajapati, yang juga menjadi
istri Raja Suddhodana.[12]
Bayi itu diberi nama Siddharta, yang berarti semua cita-citanya
tercapai, Gautama adalah nama keluarganya[13]
juga karena sanak keluarganya menganggap dirinya sebagai keturunan Guru Weda
Gautama. Ia juga disebut Shakyamuni yakni rahib atau yang bijaksana dari
kaum Shakya, dan Shaakya-sinha yaitu Singa dari kaum Sakya karena ia
termasuk golongan Ksatria keturunan Shakya.[14]
Pada waktu hidupnya Siddharta sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh
kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Maksud ayahnya ialah untuk menjauhkan
Siddharta dari pemikiran menjadi pemimpin Agama. Namun, hati Siddharta lebih tertarik pada
pertapaan.[15]
Setelah Pernikahan
Pangeran Siddharta dengan Putri Yasodhara, mereka hidup sangat bahagia, karena
mereka cocok satu sama lain. Pangeran hidupnya sangat senang, tetapi hanya menikmati hidup penuh
kesenangan duniawi di istananya. Namun demikian, pangeran suka pergi menyendiri
untuk merenung di tempat yang suci dan tenang.[16]
Pada suatu hari,
Siddharta bercengkrama dengan saisnya, Chanda. Sekalipun raja telah
memerintahkan agar seluruh jalan itu harus dibersihkan dari hal yang tidak
menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah
tua sekali (menurut dongeng, orang tersebut adalah penjelmaan Dewa Brahma yang
dengan sengaja menampakan hal itu karena sudah waktunya Siddharta meninggalkan
kemewahan).
Atas keterangan Chanda ia
tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti itu. Dengan
wajah yang muram sekali Siddharta kembali ke istana. Pada perjalanan
cengkeramanya yang kedua Siddharta melihat orang yang kurus dan sakit hingga
tampak lemah sekali, kemudian dalam perjalanan yang ketiga ia melihat jenazah
yang diangkut ke kubur dengan diikuti oleh orang-orang yang mengantarkannya. Akhirnya pada perjalanan cengkerama
yang keempat ia melihat seorang pertapa, yang tampak serius, terhormat, serta
menguasai diri.[17]
Empat peristiwa penting tadi, yang beliau lihat tua, sakit,
meninggal, dan pertapa mulia, menyadarkan beliau bahwa semua itu harus dialami oleh semua makhluk, yakni seorang manusia akan tua, akan sakit, dan akan meninggal.[18] Sejak itu Siddharta ingin mengikuti
kehidupan pertapa ini. Ia mencari jalan bagaimana dapat meninggalkan
kehidupannya yang mewah itu.[19]
Pada waktu yang sudah
ditentukan oleh para dewa, Siddharta pergi meninggalkan istri dan anaknya serta segala kenikmatan
hidup di dalam istana. Dengan tanpa diketahui siapapun.[20] Semua itu terjadi sama seperti yang
sudah diramalkan oleh seorang Brahmana pada waktu kelahiran Siddharta, yaitu bahwa Putra raja akan
menjadi seorang
Buddha, dan
bahwa hal itu akan dimulai setelah sang putra raja melihat empat tanda: orang
tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa.[21]
Sekarang dimulailah hidup
pengembaraan untuk memperoleh kelepasan. Tetapi lama ia tidak mendapatkan apa
yang dicarinya.[22] Akhirnya, suatu sore waktu ia berumur
35 tahun. Ia duduk
di bawah pohon Bodhi[23] (pohon
kesadaran) di Bodh Gaya
dengan maksud tidak akan meninggalkan pohon itu sebelum ia mendapat pencerahan.
Ia duduk di bawah pohon dengan menghadap ke timur.[24]
Pertapaan itu dilaluinya
dengan gangguan Mara, iblis dengan macam-macam cara. Namun Siddharta berhasil
mengalahkannya.
Pencerahan adalah jalan agung menuju negeri orang yang mengetahui
segalanya. Ia adalah mata yang suci yang dapat melihat jalan, benar dan salah.
Ia adalah benih dari semua Buddha dan menyebabkan ajaran Buddha tumbuh.
(Kegon-Gyo (Avatamsaka-sutra))
Saat matahari terbit,
Siddharta memperoleh kemenangan dengan tiga tahap :
Ø Waktu jaga malam
yang pertama ia mendapatkan pengetahuan tentang kehidupannya yang terdahulu.
Ø Waktu jaga malam
yang kedua ia menjadi mahatahu.
Ø
Dan akhirnya pada waktu jaga malam yang ketiga ia
mendapat pengertian akan pangkal yang bergantungan, yang menjadi awal
segala kejahatan.
Demikianlah, hingga matahari terbit ia sudah mendapatkan pencerahan yang
sempurna.[25]
Diiringi dengan mukjizat-mukjizat
yang luar biasa ketika itu. Seperti: kejahatan hilang di hati manusia, sakit
menjadi sembuh, alam diterangi oleh sinar yang luar biasa, dlsb. Sekarang Siddharta disebut Tathagata. Mula-mula Siddharta ragu-ragu, apakah
yang diperolehnya itu dapat diajarkan kepada orang lain. Ia takut, bahwa orang
akan menyalahgunakan ajarannya. Ketika sang Buddha ragu-ragu tersebut ada
mujizat yang lain seperti burung tidak terbang, sungai tidak mengalir, dlsb.[26]
Oleh karena itu, Dewa Brahma meminta kepada sang Buddha untuk mengajarkan
apa yang sudah didapatnya kepada umat manusia.[27]
Pembicaraan pertama dilakukan di kota Benares. Hanya lima murid[28] (Kondana,
Bodiya, Wappa, Mahanama, da Asaji) didapatnya. Tetapi kemudian pengikutnya bertambah.[29]
Akhirnya pada umur 80
tahun wafatlah sang Buddha di Kusinara. Tubuhnya dibakar, tetapi hanya daging dan bungkusnya yang menjadi abu, sedang tulang-tulangnya tinggal utuh.
Karena peninggalan itu menjadi bahan perebutan, maka dibagilah peninggalan itu
menjadi delapan bagian. Siapa yang minta delapan bagian harus mendirikan
bangunan bagi peninggalan itu.[30]
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, selain mendapatkan gelar Buddha,
Siddharta juga telah mendapatkan gelar Bhagava (orang yang menjadi
sendiri tanpa guru yang mengajar sebelumnya), Sakya-mimi (pertapa dari
suku Sakya); Sakya-sumha (Singa dari suku Sakya); Sugata (orang
yang datang dengan selamat); Svarta-Siddha (orang yang terkabul semua
permintaan) dan Tataghata (orang yang baru datang).[31]
Pendapat H. Kern
menyebutkan dan
mengakui kehidupan Buddha memang pernah ada, tetapi ceritanya memang
diliputi oleh suatu mitologi. Karena, bagi pengikut Buddha, hidup Gautama sebagai
perorangan tidak dianggapnya penting. Yang dipentingkan adalah idenya.[32]
2008). h. 1
2008). h. 2
2008). h. 2
2008). h. 3
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.8
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.9
Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.170
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.9
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.12
Sunan Kalijaga
Press, 1988). h.103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar